Jurnal perjalanan petualangan
Terios 7- Wonders sesungguhnya dimulai hari ini (10/10). Setelah dilepas di VLC
serta melakukan persiapan, tepat pada pukul 23.00 WIB tim bergegas
menuju penyeberangan Merak-Bakauheni. Selama di ferry, tim memanfaatkan
waktu untuk beristirahat. Kondisi laut yang bersahabat membuat durasi
penyeberangan ditempuh dalam waktu 3 jam.
Kala fajar menyingsing Tim sampai di
ujung pulau Sumatera. Kondisi jalan yang mulus merupakan sarana yang
ideal untuk berakselerasi. Alhasil kecepatan maksimal 120 km/jam dapat
diraih oleh Daihatsu
Terios yang kami tunggangi. Sesampainya menjelang
kota Lampung, lalu-lintas lumayan padat sehingga tim harus menurunkan
kecepatan rata-rata hingga 40 km/jam.
Sesampainya di kota Lampung, sarapan
merupakan hal yang mutlak dilakukan, mengingat rentang perjalanan tidak
kurang dari 3000 km, baru dilakoni tim
Terios 7-Wonders, 300 km. Dari
kota Lampung tim bergerak menuju Liwa, Lampung Barat. Perjalanan menuju
Liwa yang merupakan wilayah pegunungan ditempuh melalui kawasan Bukit
Kemuning, dengan ragam jalan yang didominasi oleh tikungan pendek
disertai oleh tanjakan terjal. Kondisi jalan inilah yang menuntut tim
untuk pandai-pandai melakukan perpindahan transmisi. Beberapa kali
shifter matik Terios AT berpindah dari D-3 ke 2. Sementara untuk yang
manual dari 4 ke 3.
Sesampainya di kota Liwa tepat pukul
17.00 WIB yang berudara sejuk, tim masih harus menuju target
pemberhentian selanjutnya ke Danau Ranau yang masih tersisa jarak
sekitar 25 km dari kota Liwa. Sesampainya di tepian Danau Ranau yang
sudah gelap gulita, kami disambut oleh hawa dingin yang menusuk. Setelah
beristirahat melepas lelah, Kopi Luwak khas Liwa menjadi santapan
pertama kami di pagi buta ditemani oleh semilir angin yang enggan pergi.
Inilah kenikmatan kekayaan kopi
Indonesia yang pertama kali dikecap oleh tim. Secangkir kopi panas
berikut kudapan pagi, merupakan penyemangat kami tim
Terios 7-Wonders
untuk melanjutkan petualangan selanjutnya, mengeksplorasi penangkaran
Luwak serta menghirup aroma kopi dari perkebunan kopi yang terletak
tidak jauh dari Danau Ranau.
Merangkul Keindahan Dalam Secangkir Kopi
Menikmati suasana Danau Ranau di pagi hari sungguh menyegarkan, apalagi
dengan di temani secangkir kopi panas yang beraroma khas ditemani
sejuknya udara sekitar. Setelah melepas lelah dengan tidur panjang
semalam, kami telah memulihkan tenaga untuk kembali beraktifitas.
Pasti sahabat petualang setuju perjalanan sejauh 509,4 km bukanlah jarak
yang pendek. Sinar matahari pagi nyaris tak terlihat karena tertutup
kabut, nun jauh di seberang wisma kami bermalam terlihat siluet Gunung
Seminung.
Danau Ranau adalah danau terbesar kedua di pulau Sumatera. Danau yang
terbentuk akibat gempa bumi yang dahsyat akibat letusan gunung vulkanik.
Sebuah sungai besar yang sebelumnya mengalir di kaki gunung vulkanik
berubah menjadi jurang. Berbagai jenis tanaman termasuk semak belukar
yang secara lokal dikenal sebagai Ranau, tumbuh di tepi danau dan
sisa-sisa letusan berubah menjadi Gunung Seminung. Gunung yang terlihat
hanya siluetnya dari lokasi kami menginap.
Usai menikmati sarapan pagi di hotel kami bergegas menuju produsen kopi
Luwak – Kopi yang cukup terkenal di seluruh dunia. Tak cuma karena
rasanya yang nikmat tapi harganya pun lumayan mahal. Benar saja, sungguh
nikmat, mengecap kopi ternama, langsung dari kebunya. Harga per kilo
berkisar antara Rp 400 ribuan sampai jutaan. Sejujurnya kami penasaran
mengapa bisa semahal itu? Kami akhirnya mendapatkan jawaban ketika
mengunjungi tempat penghasil kopi Luwak yang lokasinya tak jauh dari
danau Ranau.
Ditemani Hidayat atau kerap disapa Sangkut – pemilik kebun kopi seluas
5.000 hektar lebih, kami dijelaskan bagaimana ia mampu memproduksi kopi
luwak. Ketika tim menyambangi rumahnya di tepi jalan utama Liwa – Ranau
tenyata di belakangnya ia memiliki satu ruangan khusus yang berisi
banyak kandang kecil. Kadang inilah tempat dimana Musang Luwak
dipelihara. Namun saat ini hanya 5 saja yang ada isinya. Isinya adalah
Musang Luwak (Paradoxurus hermaphroditus).
Ada 2 jenis Musang yang dimiliki Sangkut yaitu Musang Bulan dengan ciri
khas ujung ekornya berwarna putih (lebih agresif dan susah jinak) dengan
bulu berwarna kecoklatan serta Musang Pandan yang bulunya berwarna
kehitaman. Menurut Sangkut aroma wangi khas yang dikeluarkan Musang
Pandan ternyata menghasilkan kopi yang lebih nikmat dari Musang Bulan.
Kopi Musang Pandan memiliki penggemar yang lumayan banyak.
“Karena kopinya sudah mulai habis maka sebagian besar musang dilepaskan.
Nanti kalau musim panen lagi (setiap bulan 2 – bulan 6 ) cari musang
lagi dengan memasang perangkap,” perinci Sungkat. Selanjutnya musang
yang dimasukan kedalam kandang lalu diberi makan biji kopi yang habis
dipetik . Tentunya hanya kopi yang kondisinya paling bagus yang akan di
makan, “ imbuhnya.
Biasanya sesudah dipetik biji kopi disortir dulu. Pertama-tama dicari
yang warnanya merah rata dan bentuknya bulat. Kemudian direndam di ember
berisi air. Biji yang terapung disortir. Yang tenggelam dikumpulkan
untuk diberikan pada Musang Luwak. Musang Luwak ini nanti hanya memilih
biji kopi yang terbaik untuk makanannya.
Biji
kopi yang dimakan ini selanjutnya terfermentasi dan keluar jadi kotoran
berwujud biji kopi. Kotoran ini dikumpulkan dan dipisahkan agar tak
lagi berbentuk gumpalan. Setelah itu baru dijemur hingga kering. Barulah
biji kopi yang sudah bersih dan kering dibawa ke pabrik pengolahan
kopi. Inilah alasannya mengapa Kopi Luwak mahal sekali. Selain karena
proses pembuatannya lumayan ribet, hanya kopi terbaik saja yang dimakan
Luwak.
Sebelum kami bergerak menuju lokasi pengolahan biji kopi di daerah
Banding Agung, kami disuguhi kopi luwak yang masih panas. Hmmmm..
Nikmat! Kalau penikmat kopi pasti bilang dahsyat. Karena mesti
menjalankan ibadah Sholat Jumat maka diputuskan untuk rehat sejenak dan
menunaikan ibadah.
Kami ditemui Pak Khodis di lokasi pengolahan kopi miliknya. Cukup
panjang juga penjelasan pria kelahiran Salatiga ini mengenai perkopian.
Karena harus bergerak lagi menuju kota Lahat maka seluruh tim pun
bergegas.
Total jarak Danau Ranau hingga Lahat 309,4 km. Kami akhirnya merapat di
kota Lahat malam hari sekitar pukul 20.00 WIB. Rombongan disambut
langsung orang nomor satu di Lahat.
Atasi Jalur Sempit dan Berkelok Kelok
Sahabat Petualang, usai santap siang di
pinggir Sungai, tim
7Wonders langsung mengarahkan tujuan menuju
Kabupaten Empat Lawang (Tebing Tinggi). Daerah hasil pemekaran Kabupaten
Lahat ini memiliki ikon Biji Kopi. “Kopi adalah salah satu komoditas
andalan kabupaten Empat Lawang,” bilang H. Budi Antoni Aljufri – Bupati
Empat Lawang ketika mengobrol dengan tim
7Wonders beberapa waktu lalu,
sebelum ia berangkat menunaikan ibadah haji 13 oktober 2012.
Jalanan ketika keluar dari kota
Pagaralam menuju Tebing Tinggi via desa Jarai – Pendopo sebenarnya cukup
baik. Hanya saja tidak begitu lebar dan rutenya berkelok-kelok. Butuh
kehati-hatian agar tak terjadi kecelakaan. Kondisi jalanan sendiri
relatif sepi dengan pemandangan hutan di kanan dan kirinya. Karena
kecepatan yang bisa diraih tak bisa terlalu kencang, maka waktu yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan jarak tempuh kurang lebih 121,6 km
sekitar 3 jam.
Sesuai pesan Budi Antoni sebelum
berangkat ke Mekkah melalui BBM (black berry messenger), maka tim
7Wonders langsung menuju rumah dinas bupati Empat Lawang. “Mohon maaf
tidak bisa menemani. Silahkan bermalam di Rumah Dinas - Puri Emass.
Nanti ada staff yang menemani dan silahkan berkoordinasi,” begitu
pesannya. Wah… mantap Pak Bupati dan terima kasih banyak sebelumnya. Dan
semoga bisa menjalankan ibadah haji dengan khusyuk.
Sampai
di Puri Emass sekitar pukul 15.30 WIB, dua orang staff bupati Empat
Lawang Rudianto – Kepala Dinas Perkebunan dan Joko sudah menunggu.
Sebenarnya David Aljufri - ketua DPRD Kabupaten Empat Lawang yang juga
adik kandung Budi Antoni akan menemani namun usai mengantar sang kakak
berangkat haji ke Palembang ada acara mendadak yang tak bisa ditinggal.
Tak jauh dari rumah dinas bupati, kami
diajak bertemu Pak Anang Zairi – seorang pemilik pengolahan kopi. “Kopi
di Empat Lawang ini berbeda lo. Ini merupakan hasil percampuran Arabica
dan Robusta. Wujud aslinya Robusta tapi aromanya Arabica,” jelas Anang.
Di rumah Anang, sistem pengolahan kopi sudah tertata dengan rapi. Dan
tak hanya kopi saja tapi beberapa panganan ringan dari pisang, singkong
juga diproduksi. Malah tak hanya itu madu hutan pun juga diproduksi di
sini.
Anang ternyata juga tak hanya pandai
memilih biji kopi yang berkualitas. Tapi ia juga jago membedakan
bagaimana memilih madu yang bagus. Madu yang bagus menurutnya adalah
yang kadar airnya minim sekali. Selain dirasakan lewat indera pengecap
lidah ia punya metode sederhana untuk membuktikan madu yang baik.
“Masukkan sedikit madu ke dalam plastik dan masukkan ke dalam kulkas.
Kalau membeku berarti kurang baik. Kalau bagus sampai 6 bulan pun madu
tak akan membeku,” tegasnya.
Pengecekan Kendaraan
Selain
aksi sosial, di Medan mereka juga melakukan pengecekan dan perbaikan
pada 3
Terios yang menemani perjalanan
7Wonders. Setelah melewati
berbagai rute lumayan berat dan adanya sedikit kendala yang dialami
salah satu Terios, mengembalikan kondisi mobil jadi prima lagi cukup
penting. Mengingat rute kami berikutnya di provinsi Aceh juga penuh
tantangan.
Pengecekan dilakukan di main dealer Daihatsu Medan. Kondisi kekencangan
baut-baut dan juga pengereman mereka cek kembali. Menurut para mekanik
yang menangani semua dalam kondisi baik. Bagian moncong depan kiri salah
satu
Terios yang penyok akibat menyenggol semak belukar juga
diperbaiki.
Aksi Peduli Sesama
Sahabat Petualang - Perjalanan panjang 7Wonders sudah mencapai separuh lebih
dari rute yang direncanakan ketika kami sudah berada di Medan. Selain
untuk memulihkan stamina selama 2 malam di Medan kami juga melakukan
kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR). Program ini disinergikan
dengan program CSR PT. Astra Daihatsu Motor (ADM).
Untuk di Medan acara simbolis penyerahan
bantuan kepada 2 Posyandu dan 5 UMKM dilakukan di dealer Daihatsu,
Jalan Sisingamangaraja No. 170, Medan. Kedua Posyandu Binaan yaitu
Posyandu Kenanga 1 dan Mawar XII. Sedangkan UMKM yang mendapat bantuan
adalah Wolken (pembuat bantal+guling), Keripik Pisang Bu Nur, Keripik
Cap Merak, Berkat Rahmat dan juga Sirup Markisa Brastagi Bee. Total
bantuan program ini nilainya mencapai lebih dari Rp 200 juta.
Usai kegiatan ke dealer Daihatsu, tim
7 Wonders juga langsung ke lokasi Posyandu Kenanga 1 yang berada di Kantor
Kelurahan Pasar Merah Barat, Kecamatan Medan Kota. Tim 7Wonders juga
ditemani Edy Susanto – Kepala Cabang PT Astra Internasional Daihatsu
Medan (AIDM), Akmal Sukmajaya - Corporate IT Div. Head ADM dan juga
Asjoni - CSR Dept. Head ADM bersama tim CSR ADM.
Hangatnya Kopi Gayo
Sahabat
Petualang - Kota Takengon adalah persinggahan terakhir tim
7Wonders
dalam mengeksplorasi 7 tempat penghasil kopi di Pulau Sumatera.
Sepanjang perjalanan ini sudah ada 6 tempat yang kami kunjungi yaitu
Liwa (Lampung), Lahat, Pagar Alam, Empat Lawang, Curup –Kepahiang,
Mandailing Natal dan sekarang giliran Takengon.
Kami berangkat dari Langsa ketika jam
menunjukkan pukul 7 pagi. Banyak agenda yang kami rencanakan makanya
perjalanan harus dirancang seefektif mungkin. Supaya tak banyak waktu
yang terbuang. Mengingat jarak antara Langsa - Takengon sendiri juga
cukup jauh sekitar 334,6 km.
Perjalanan cukup lancar selain lalu
lintas tak terlalu padat kondisi jalan raya juga cukup bagus. Sekitar
pukul 11 siang kami sudah sampai di Bireuen. Kota yang dulu kerap jadi
ajang pertempuran antara GAM dengan aparat keamanan Indonesia. Suasana
kota Bireuen dulu jelas jauh berbeda dengan sekarang. Suasananya aman
dan damai. Kami pun memutuskan untuk makan siang di sini, mengingat rute
dari Bireuen ke Takengon akan sedikit merepotkan jika harus mencari
warung makan.
Rute Bireuen – Takengon lebih banyak
melewati perbukitan yang jauh dari pemukiman. Di daerah Cot Panglima
pemandangannya cukup indah. Meskipun proyek pengerjaan jalan masih belum
selesai. Jalan ini mengikis sebagian bukit dan dibuat lebih lebar. Ini
penting karena di beberapa bagian terjadi kelongsoran.
Menjelang masuk Takengon, komunitas jip
dari Gayo sudah menunggu. Mereka siap mengawal 3
Terios mencicipi trek
bukit Oregon. Trek light off-road dengan pemandangan yang indah.
Kemampuan
Terios lagi-lagi diuji di sini. Kenyamanan dan juga
ketangguhan kaki-kaki Terios terbukti andal. Melewati trek tanah berbatu
dengan beragam kontur tak ada kendala berarti.
Sampai di ujung terakhir trek Oregon
kami menyempatkan berhenti sejenak. Selain menikmati indahnya
pemandangan kota Takengon dan Danau Laut Tawar, bersama dengn penyuka
4x4 menyeruput secangkir kopi panas sungguh pengalaman yang tak bisa
dilupakan. Lewat secangkir kopi inilah meskipun baru saja bertemu
pertemanan dengan komunitas jip di Gayo terasa lebih hangat.
KOPI LEGENDARIS TAKENGON
Sahabat Petualang : Usai beristirahat di penginapan di pinggir Danau Laut
Tawar, badan terasa bugar kembali. Kami pun siap kembali mengulik dunia
perkopian di kota Takengon. Menurut Bambang salah seorang pengusaha kopi
di Takengon, masyarakat di kota ini tak bisa lepas dari kebun kopi.
Rasanya hampir semua penduduk di kota ini memiliki kebun kopi. Minimal
satu keluarga punya setengah hektar luasnya.
Di setiap pekarangan rumah penduduk, hampir tak ada yang dibiarkan
terbuka tanpa ditanami kopi. Letak geogragis yang menjadi salah satu
rangkaian bukit barisan tentu punya kelebihan tersendiri. Tanahnya subur
dan curah hujannya juga lumayan tinggi. Karena letaknya kurang lebih
1.300 m dpl maka sangat cocok untuk menanam kopi jenis Arabica.
Makanya selain di Mandailing Natal, masyarakat Gayo – demikian penduduk
Takengon biasa disebut jadi salah satu bagian sejarah penting dalam
perkembangan kopi Arabica di Sumatera bahkan hingga mendunia.
Sesuai janji Bambang Wijaya Kusuma semalam ketika bersama-sama
menikmati masakan Ikan Asem Njing (asem pedes), maka pagi ini kami
diajak melihat langsung salah satu kebun kopi peninggalan Belanda di
desa Blang Gele. Kebun kopi tua tersebut hanya seluas 15 hektar. Padahal
dari sisi kualitas, biji kopi di desa Blang Gele termasuk nomer satu.
Bijinya pun besar-besar dan memiliki aroma yang khas.
Letak kebun ini sendiri tak jauh dari PT Ketiara (perusahaan kopi
milik ayah dan ibu Bambang). Untuk melestarikan kopi jenis ini,
pengembangbiakan pun dilakukan. Hanya saja menurut Bambang ketika
ditanam di daerah lain ternyata hasilnya berbeda dengan yang di
Takengon. Kalau di lokasi asalnya kopi Arabica ini biarpun baru berumur
setahun tapi buah yang dihasilkan sangat lebat. Sedangkan jika di tempat
lain belum tentu sama.
Sebelum meninggalkan kota Takengon menuju Banda Aceh, tim
7Wonders
juga menyempatkan diri menikmati makan siang menu khas Gayo dan juga
belanja souvenir khas Gayo. Rute perjalanan sama ketika kami datang dari
Bireun. Hanya saja ketika sampai di Bireun kami langsung berbelok ke
kiri dan mengambil arah ke Banda Aceh.
Jalanan ke Banda Aceh lumayan lebar dan mulus sehingga perjalanan
bersama
Terios pun menyenangkan. Kami akhirnya masuk di hotel pukul
23.30 WIB. Karena besok paginya harus menyeberang ke Sabang maka semua
barang harus dipaking saat ini juga.
|
|
jalanan berkabut keluar dari takengon |
pengeringan biji kopi gayo (takengon) |
Finish !!
Sahabat Petualang – Rangkaian perjalanan panjang tim
Terios 7-Wonders
sepanjang 3.657 km selama 15 hari berakhir di tugu “Nol” Kilometer tepat
pukul 12.48 WIB (24/10). Dari sinilah pengukuran luas wilayah Indonesia
dimulai. Saat ini teks lagi Dari Sabang Sampai Merauke sudah bisa kami
nyanyikan. Meskipun baru dari Sabang, teks lagu Sampai Merauke-nya nanti
tunggu jika
Terios 7-Wonders ini selesai menjelajah Papua (Semoga bisa
segera terwujud. Hehehehehe..)
Setelah beristirahat semalam di Banda Aceh, pagi-pagi kami harus segera
bergegas menuju pelabuhan ferry Ulee Lheue. Para sahabat yang juga
offroader dari Banda Aceh mengingatkan jika jadwal kapal ke Sabang agak
ajaib. Bisa dipercepat jika penumpangnya padat. Kebetulan perjalanan ini
mendekati hari raya Idul Adha atau Lebaran Haji. Banyak penduduk Aceh
yang pulang kampung. Dari Sabang ke Banda Aceh atau sebaliknya Banda
Aceh ke Sabang.
Makanya atas saran dari para sahabat, meskipun jadwal kapal ke Sabang
baru pukul 11.00 WIB siang kami harus antri di lokasi pelabuhan minimal
dari jam 7 pagi. Oh ya kapasitas angkut kapal ferry memang tidaklah
besar, maksimal 30 kendaraan. Sampai di lokasi tiba-tiba ada kabar jika
kapal lambat (ferry) akan berangkat pukul 09.00 WIB. Kami pun segera
bergegas. Kalau lebih cepat menyeberang tentu lebih menyenangkan. Karena
kami jadi punya waktu lebih banyak berada di pulau Sabang.
Sampai di pelabuhan ferry Balohan – Sabang sekitar pukul 11 siang. Kami
segera menuju kota Sabang, sahabat kami Ari Poenbit dari komunitas
off-road pulau Sabang dan juga dokter Togu akan mengawal kami menuju
tugu “Nol” kilometer. Tanpa menunggu waktu lama 3
Terios langsung bawa
menuju tujuan akhir perjalanan panjang ini.
Akhirnya tiga unit Daihatsu Terios (2 matik dan 1 manual) berhasil kami
bawa mencapai titik “Nol” kilometer di ujung pulau Weh, Provinsi Aceh
Nanggroe Darussalam pada pukul 12.48 WIB. Perjalanan yang penuh
pengalaman menarik selama 15 hari yang dimulai dari VLC Sunter Jakarta
dengan total jarak 3.657 km berakhir sudah. Yihaaa….! Terima kasih
banyak Tuhan atas berkah perlindunganMu!
Di Sabang, rombongan
Terios 7-Wonders sudah ditunggu oleh para petinggi
PT Astra Daihatsu Motor (ADM) antara lain, Amelia Tjandra, Rio Sanggau,
Elvina Afny, Guntur Mulja dan beberapa wartawan nasional dari Jakarta
yang diajak khusus menyaksikan peristiwa bersejarah ini. Anggota tim
7-Wonders yang terdiri dari Tunggul Birawa (leader), Insuhendang, Bimo S
Soeryadi, Ismail Ashland, Aseri, Toni, Arizona Sudiro, Endi Supriatna,
Enuh Witarsa, David Setyawan (ADM), Rokky Irvayandi (ADM) mendapat
ucapan selamat dari yang hadir di tugu “Nol” Kilometer.
“Selamat! Terima kasih tim
Terios 7-Wonders sudah berhasil
mennyelesaikan seluruh etape perjalanan panjang ini tanpa ada kendala
berarti. Terbukti Terios adalah SUV yang tangguh!” komentar Amelia
Tjandra Direktur Marketing PT ADM.
Seremoni singkat menandai berakhirnya ekspedisi ini dilakukan di Tugu
“Nol” Kilometer. Plakat
Terios 7-Wonders yang dibawa tim diserahkan oleh
Tunggul Birawa selaku komandan tim kepada Amelia Tjandra. Selanjutnya
plakat ini diserahkan kepada dr. Togu yang mewakili pemda Sabang. Plakat
ini akan ditanam di lokasi yang memang sudah disediakan di sekitar
lokasi tugu Nol Kilometer.
Kurban 3 sapi
Jadwal
kepulangan tim
Terios 7-Wonders kebetulan memang sangat berdekatan
dengan hari raya Idul Adha. Sebelum pulang dengan mengenakan pesawat
udara pada sore harinya, PT ADM dan juga tim
Terios 7-Wonders menyerahkan 3 ekor sapi untuk dijadikan hewan kurban. “Ini salah satu
bentuk ucapan rasa syukur kami karena program
Terios 7-Wonders Sumatera
Coffee Paradise sudah berhasil dilaksanakan tanpa ada hambatan berarti. 3
ekor sapi ini melambangkan 3
Terios yang kami bawa dari Jakarta hingga
Aceh,” komentar Rio Sanggau salah satu petinggi ADM ketika menyerahkan 3
ekor sapi pada panitia kurban di Masjid Raya – Banda Aceh.
Oh, ya pada saat penyerahan hewan kurban, kapal dari Sabang yang membawa
3
Terios sudah merapat. Tiga orang anggota tim pun menyusul ke
pelabuhan Ulee Lheue untuk membawa kembali kendaraan yang menemani kami
selama ini. Sampai jumpa di petualangan seru selanjutnya….
Dengan rentang perjalanan sejauh
tidak kurang dari 3.300km selama 14hari
The New TERIOS membuktikan
ketangguhannya dengan petualang di Pulau Sumatera. Jadi kesimpulannya
TERIOS memang merupakan mobil petualang yang dahsyat.